Hamdy Salad http://www.sastra-indonesia.com/ Segala sastra, baik puisi maupun prosa, tak pernah lahir dari ruang hampa. Selalu saja tersirat di dalamnya jejak-jejak kehidupan manusia. Jejak-jejak yang dapat dibaca secara estetis melalui kenyataan psiko-individual, sosio-kultural, dan religio-spiritual. Itu sebabnya dalam dinamika sejarahnya sampai kini, banyak definisi dan istilah sastra yang berkembang di tengah masyarakat, termasuk di dalamnya apa yang sering disebut dengan – sastra religius. Sebagai salah satu di antara istilah populer dalam perekembangan sejarahnya, bahasan mengenai sastra relegius telah menjadi perdebatan dari masa ke masa. Bahkan telah dianggap sebagai genre (aliran) tersendiri dalam ranah kesusastraan. Sehingga lahir pula istilah-istilah lain yang berdekatan denganya. Seperti sastra mistik, sastra holistik, sastra transenden, sastra filsafat, sastra pencerahan, sastra terlibat dunia dalam, dan lain sebagainya. Di tengah laju globalisasi terkini, keberadaan wacana maupun karya sastra relegius terasa penting untuk diaktualisasi. Hal ini diperlukan bukan saja karena dunia sastra membutuhkan keseimbangan, tapi juga disebabkan oleh melubernya praktik-praktik budaya yang semakin jauh dari nilai moral dan keagamaan. Sehingga logika-logika metafisikal yang menjadi bagian utama dari tanda kesempurnaan manusia dalam kehidupan sehari-hari, kian melenyap dan terlupakan. Oleh karenanya, apapun bentuk dan jenis karya sastra yang terlahir atau dilahirkan dalam ranah religius, memiliki keniscayaan kultural untuk membebabaskan kawasan jiwa manusia dari kemiskinan spiritual. Dengan begitu, keberadaan sastra religius masih berdaya untuk diberi narasi dan dipetik hikmahnya sebagai pelecut kesadaran iman. Sebagai refleksi estetis bagi manusia untuk membangun kembali aspek-aspek relegius, transendensi dan spiritualitas yang tercecer di sekitar lingkungan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. Sekaligus mencuatkan makna apresiasi sastra religius yang lebih lengkap, lebih hidup, lebih indah dan mempesona, dari sekadar media untuk menebarkan doktrin-doktrin agama itu sendiri. Ekspresi dan Kreativitas Setiap karya sastra yang memiliki kecenderungan simbolik untuk mendekati manifestasi ide-ide ke-Tuhan-an, baik dalam ranah kehidupan individual maupun sosial, dapat dikategori sebagai - sastra religius. Dengan kata lain, bentuk-bentuk sastra relegius mengandungi ekspresi estetis yang merujuk pada pengalaman dan penghayatan terhadap eksitensi Tuhan dalam kehidupan manusia. Unsur-unsur tematik sastra yang bermuara pada hal-hal yang bersifat metafisik, doa, pujian, permenungan diri, hari kebangkitan, surga dan neraka, atau tema-tema lain yang berkisar pada esensi kepercayaan, merupakan bagian dari dimensi keutamanya. Oleh karena itu, percakapan sastra relegius tidak sepenuhnya dapat dinisbahkan dengan tradisi dan budaya, suku maupun agama tertentu. Namun demikian, kecenderungan ekspresi sastra relegius secara lebih spesifik dapat dipahami bukan saja sebagai media untuk menghayati eksistensi Tuhan, tapi juga dapat dimaknai sebagai kreativitas estetis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran agama. Bentuk-bentuk karya sastra relegius yang mengekspresikan ide-ide ke-Tuhan-an, nilai dan ajaran agama tertentu, sering disebut dengan - unsur-unsur relegiusitas dalam karya sastra, sastra bernafaskan agama, atau sastra keagamaan. Pertumbuhan sastra keagamaan, terutama dalam khazanah budaya Melayu-Indonesia, banyak didominasi teks-teks sastra yang bersumber pada nilai dan ajaran agama Islam. Sehingga munculah ragam istilah yang kemudian dikenal dengan; sastra relegius Islam, sastra bernafaskan Islam, atau sastra bertema ke-Islaman. Dan dalam tulisan ini lebih sepakat untuk menyebutnya sebagai - Sastra Islam. Penyebutan Sastra Islam, memiliki kecenderungan untuk memasuki wilayah-wilayah estetis maupun teologis yang membias dalam teks sastra maupun proses-proses kreatif yang ditempuh oleh pengarangnya. Secara estetis, sastra Islam memiliki arahan untuk memusatkan maknanya (bentuk dan isinya) yang merujuk pada substansi nilai-nilai keislaman yang bersumber pada al-quran, maupun tradisi dan pengetahuan yang lahir dari penafsiran terhadapnya. Melalui unsur definitif tersebut, kemungkinan Sastra Islam memiliki konsepsi yang lebih mendasar, yang dapat diturunkan dan diuji melalui ruang ekspresi maupun proses-proses kreasi yang membias dalam karya sastra. Sehingga dapat ditemukan gagasan-gagasan utama yang dapat dikembangkan sebagai landasan teoritik dalam proses penciptaan maupun pembacaan. Bahkan dapat juga digunakan untuk mencari dan menemukan perbandingan-perbandinganya dengan wacana kesusastraan di luar dirinya. Dari Profetik ke Sufistik Dalam khazanah sastra Indonesia , terutama pada periode klasik, gagasan-gagasan sastra Islam telah lahir dan berkembang bersamaan dengan masuknya pengaruh agama ini ke dalam berbagai wilayah tradisi dan budaya Nusantara. Keberadaan Sastra Melayu (syair, pantun, gurindam), Sastra Jawa (babad, serat, suluk), dan Sastra Pesantren (sastra kitab, singiran, nadhoman) setidaknya dapat direpresentasi sebagai awal dari kelahiran gagasan sastra Islam di Nusantara. Dan ketika sastra Indonesia modern lahir, tumbuh juga di dalamnya gagasan-gagasan Sastra Islam Indonesia Modern dengan berbagai polemik yang menyertainya. Gagasan-gagasan Sastra Islam Indonesia Modern, secara tidak langsung telah muncul ke permukan sejak tahun 60-70 an. Gagasan-gagasan itu lahir bukan saja dalam bentuk karya, tetapi juga dalam bentuk wacana. Dalam bentuk karya, gagasan termaksud tersebar melalui teks-teks sastra yang dihasilkan oleh sejumlah sastrawan muslim dari berbagai periode angkatan sastra Indonesia sampai terkini. Dalam bentuk wacana, gagasan Sastra Islam Indonesia Modern telah memunculkan ragam istilah yang berbeda, namun memiliki arah dan tujuan yang hampir sama. Beberapa di antaranya ialah; sastra Islami, sastra ibadah, sastra dakwah, sastra dzikir, sastra kaffah, sastra sajadah, sastra qurani, dan lain sebagainya. Istilah-istilah tersebut digunakan oleh para pendukungnya sebagai usaha untuk menjelaskan keberadaan dan kemungkinan-kemungkinan Sastra Islam dalam proses kreatif maupun ekspresi estetiknya. Selain itu, ada dua istilah lagi yang sangat berpengaruh, dan dikembangkan secara paragdimatik oleh penggagasnya sebagai wacana utama dalam dinamika sastra Islam Indonesia modern, yaitu Sastra Profetik dan Sastra Sufistik. Sebagai istilah, terminologi profetik diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Roger Garaudy (filosof Ateis Perancis menjadi muslim) melalui kajian filsafat. Menurutnya, filsafat Barat telah membunuh “Tuhan dan manusia” dalam kebudayaannya, dan karena itu diperlukan adanya pencerahan baru yang mengajak manusia dan komunitas-komunitas agama maupun kebudayaan untuk mengenali kembali filsafat kenabian, serta berusaha mengaktualisasikannya melalui dimensi sosial dan budaya, seni dan kesusastraan. Gagasan-gagasan profetik dalam ranah seni, dikembangkan lebih jauh oleh Al-Faruqi dan Husein Nasr. Sedangkan dalam ranah sastra telah dieksplor secara kreatif dan mendalam oleh Rumi, Iqbal, Nizar Kabbani, Kasim Ahmad, Emha Ainun Najib, dan lain sebagainya. Di Indonesia, gagasan budaya profetik dipopulerkan oleh Kuntowijoyo (pada awal 1980-an) ke dalam kajian ilmu sosial, dan kesusastraan. Sehingga di kemudian hari, lahirlah paradigma baru yang disebut – Ilmu Sosial Profetik, dan Sastra Profetik. Gagasan profetik Kunto lebih lanjut dapat dipahami sebagai proses-proses kebudayaan yang mendasarkan aktivitasnya pada tiga dimensi pokok yang merujuk pada wahyu suci al-Islam (Qs. 3: 110), yakni amar makruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan tukminu billah (transendensi). Dimensi pertama, memiliki muatan untuk memanusiakan manusia sesuai dengan peran budaya yang dimiliki. Yang kedua, mengandungi perjuangan untuk membebaskan manusia dari penindasan dan perbudakan sistem budaya yang sedang berlangsung. Yang ketiga, mencakupi perlawanan kreatif yang bersifat relegius dan spiritual terhadap ideologi-ideologi budaya sekuler. Bentuk-bentuk ekspresi sastra profetik dapat diapresiasi melalui unsur-unsur estetik, kode dan simbol, kisah dan peristiwa, tokoh dan karakter, narasi dan dialog, yang tersirat maupun tersurat dalam teks sastra. Apapun bentuk dan jenis karya sastra, yang mengandungi muatan ketiga dimensi tersebut, dapat dikategori ke dalam kecenderungan ekspresi sastra profetik. Sedangkan karya-karya sastra yang hanya mengandungi salah satu di antaranya, atau didominasi oleh satu demensi saja, tidak termasuk dalam kategori tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya (pada akhir 1980-an), wacana sastra profetik dielaborasi secara spasial oleh Abdul Hadi WM ke dalam terminologi baru yang disebutnya – Sastra Sufistik. Namun demikian, istilah “sufistik” telah digunakan dalam kajian filsafat klasik oleh E.H. Palmer (1867), R.A. Nicholson (1914) dan Muhammad Abdul Quasem (1976), serta sebutan lain yang berdekatan dan dipakai oleh Braginsky (1993) dengan istilah “tasawuf puitik”. Dari kandungan semua istilah termaksud, dengan aras yang berbeda, kemudian digunakan Abdul Hadi untuk mengidentifikasi berbagai kecenderungan estetik sastra Islam, khususnya di Indonesia . Dan sejak itu, wacana sastra sufistik telah mengada, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah sastra Indonesia. Berbeda dengan sastra profetik yang mensyaratkan adanya dimensi humanisasi, liberasi, dan transendensi, konsepsi sastra sufistik lebih memusatkan penalarannya pada unsur estetik yang bersifat transenden. Nilai-nilai transendensi dapat diidentifikasi melaui ekspresi spiritual (ruhaniyah), baik dalam konteks teologis (hablumminallah) maupun kultural (hablumminnas) yang terkandung dalam teks sastra. Dengan sendirinya, kecenderungan sastra sufistik tidak semata dibatasi oleh masalah -masalah ke-Tuhan-an, tetapi juga memiliki kemungkinan tematik yang digali, dan diangkat dari realitas kehidupan manusia. Makna profetik menekankan pada aspek-aspek perlawanan dan pemberontakan terhadap realitas budaya melalui ruang sosial (peran manusia sebagai khalifah), sedangkan sastra sufistik memiliki kecenderungan untuk menghayati dan merenungkan realitas budaya ke dalam ruang individual (peran manusia sebagai abdillah). Karena itu pula, konsepsi sastra sufistik memiliki jaringan tekstualitas secara langsung maupun tidak langsung dengan disiplin tasawuf, tarekat, dan ragam ekspresi estetik kaum sufi. Akan tetapi, tidak semua sastrawan yang menghasilkan karya sastra sufistik dapat digolongkan sebagai kaum sufi. Begitupun sebaliknya, tidak semua kaum sufi dapat melahirkan karya sastra, atau disebut sebagai sastrawan. Dengan demikian, narasi sastra dalam ranah relegiusitas maupun keagamaan, tidaklah bersifat tunggal dan seragam. Tapi memiliki perspektif wacana dan ragam estetika yang berakar pada realitas sosial, tradisi dan kebudayaan di sekitar kehidupan pengarangnya. Sebab ekspresi relegiusitas dalam karya sastra, khususnya Sastra Islam, bukanlah sekadar media untuk menyampaikan, merenungi atau mengkritisi ajaran agama, tetapi juga dapat digeledah sebagai bagian dari sejarah dan perkembangan, perubahan dan pergeseran wacana dalam dunia sastra itu sendiri. **) Pernah dimuat di Jurnal Kebudayaan The Sandour, edisi III, 2008, PuJa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar